Jumat, 18 Juli 2014

sepenggal surat zainuddin (tenggelamnya kapal van der wijk)


Sahabatku Hayati
Gemetar, Encik! Gemetar tanganku ketika mula-mula menulis surat ini. Hatiku memaksaku,  banyak yang terasa, tetapi setelah kucecahkan penaku ke dawat, hilang akalku, tak tentu dari mana harus kumulai.
            Sudah hampir setahun saya tinggal di negeri tumpah darah nenek moyangku ini. Oh, Hayati, saya telah dibuaikan oleh mimpi dahulunya, oleh kuatnya bekas dendang dan nyanyian ayahku seketika saya masih dalam pangkuannya. Tanahmu yang indah, bahkan tanahku juga, Minangkabau, senantiasa berdiri dalam semangatku. Sehingga sejak saya tahu menyebut nama negeri Padang, tanah ini telah terbayang dalam khayalku.
Angan-angan dan khayal yang demikianlah yang menyampaikan langkahku kemari. Sebab di negeri Mengkasar sendiri saya dipandang orang Padang, bukan orang asli Bugis atau Mengkasar. Sebab itu disana saya rasa senantiasa dalam kesepian.
Sekarang saya datang kemari, Hayati. Tak ubahnya dengan seorang musafir di tengah gurun yang luas keputusan air ; tiap-tiap langkah dilangkahkannya tampak juga olehnya danau yang luas di mukanya. Demi, setelah sampai kepada yang kelihatan itu, danau itu pun hilanglah, berganti dengan pasir semata-mata, hening dan panas !
Hayati, berulang saya menanggung perasaan begini, seorang pun tidak ada tempat saya mengadu. Saya tidur di surau bersama-sama teman. Mereka ketawa, bersenda gurau, tetapi bilamana kuhening kupikirkan, emas juga tidak juga dapat dicampurkan dengan Loyang, sutra tersisih dari benang. Saya telah mengerti segera bahasa Minangkabau meskipun dekat mereka saya seakan-akan tak paham. Dari isyarat dan susun kata, dapat juga kuketahui, bahwa derajatku kurang adanya. Bakoku sendiri tidak mengaku saya anak pisangnya, sebab rupanya ayahku tak mempunyai saudara yang karib. Mereka bawa saya menumpang selama ini, karena dipertalikan bukan oleh budi bahasa, tetapi oleh uang; sekali lagi Hayati, oleh uang!
Mengapa hal ini saya adukan kepadamu Hayati?
Itu pun saya sendiri tak tahu, cuma hati saya berkata, bahwa engkaulah tempat saya mengadu…
Hayati! Terimalah pengaduaku ini, terimalah berita dan untung malangku ini.
Terimalah ini, perkenankanlah seruan dari hati yang daif, hati seorang makhluk yang dari masa dalam kandungan ibu telah ditunggu oleh rantai yang bertali-tali dari kemalangan.
Ayahku telah mati, dan ibuku demikian pula. Bakoku tak mengakui aku keluarganya. Di Mengkasar hanya tinggal seorang ibu angkat. Dalam pergaulan, saya disisihkan orang. Saya tak hendak membunuh diri, karena masih ada pergantungan iman dengan yang Mahakuasa dan Gaib, bahwa dibalik kesukaran ada menunggu kemudahan. Di dalam khayalku dan dalam kegelapgulitaan malam, tersimbahlah awan, cerahlah langit dan kelihatanlah satu bintang, bintang dari penghidupan untuk menunjukkan jalan. Bintang itu … ialah: kau sendiri, Hayati!
Bagimana maka hati saya berkata begitu? Itupun saya tak tahu. Lantaran tak tahu sebabnya itu, timbul kepercayaan kepada kuasa gaib yang lebih dari kuasa manusia, kusa gaib itulah yang menitahkan …
Saya tahu juga sedikit-dikit adat negerimu yang kokoh. Agaknya buruk saya berkirim surat ini dalam pandangan umum. Menggaggu dirimu sendiri, tak akan menyentuh keesaran dan sususnan rasam basi orang Minangkabau. Saya tahu dan insaf siapa semata-mata mengadukan hal. Nyampangku mati, janganlah kumati dalam penyesalan. Dan saya pun yakin, tangan yang begitu halus, mata yang penuh dengan kejujuran itu, tidak akan sampai mengecewakan hati ynag telah penuh dengan kecewa sejak sejengkal dari tanah. Terimalah saya menjadi sahabatmu yang baik, Hayati. Supaya dapat saya mengadukan hal-halku, untuk mengurangi tanggungan hati. Sebab memang sudah biasa kegembiraan dapat ditelan sendiri-sendiri dan kemalangan menjadi kurang, bila dikatakan pada orang lain.
Sudikah engkau jadi sahabatku Hayati? Saya akui saya orang aging melarat dan anak orang terbuang yang datang dari negeri jauh, yatim dan piatu. Saya akui kerendahan saya, itu agaknya yang akan menangguhkan hatimu bersahabat dengan daku. Tapi Hayati, meskipun bagaimana, percayalah bahwa hatiku baik. Sukar engkau akan bertemu dengan hati yang begini, yang bersih lantaran senantiasa dibasuh dengan air kemalangan sejak lahirnyake dunia!
Zainuddin


Hayati!
Meskipun mula-mula saya bertemu sesudah surat itu kukirim tanganku gemetar, maka sambutanmu yang halus atas kecemasanku telah menghidupkan semangatku kembali. Hayati sampai sekarang, dan agaknya lama sekali baru kejadian itu akan dapat kulupakan. Karena menurut perasaan hatiku, adalah yang demikian pintu keberuntungan yang pertama bagiku. sampai sekarang Hayati saya merasai dadaku sendiri menjaga apakah hatiku masih tersimpan didalamnya, entah sudah terbang ke langit biru agaknya, lantaran terlalu merasa beruntung.
Pada perkataan-perkataan yang telah kau ucapkan, ternyata bahwa kasih sayangku, bahwa cintaku telah kua terima. Bahwa pengharapanku yang telah putus, kau hubungkan kembali. Tetapi Hayati, ada yang perlu kuterangkan padamu, supaya jangan engkau menyesal kemudian. Orang sukai seorang pemuda, karena sesuatu yang diharapkannya dari pemuda itu, misalnya dia cantik dan gagah. Aku sendiri, sebagan yang kau lihat, begitulah kedaanku, rupaku yang jelek tak pantas menjadi jodohmu, dan aku miskin. Misalnya Allah menyampaikan cita-cita hatiku, dan engkau boleh menjadi suntingku, menjadi istri yang mengobat luka hatikuyang telah berahun-tahun, agaknya akan malu engkau berjalan beersanding dengan daku, karena amat buruk memperdekatkan loyang dengan mas, mempertalikan benang dengan sutra. Bagiku, Hayati, engkau sangat cantik. Kecantikan itu kadang-kadang yang menyebabkan daku putus asa, mengigat buruk diriku dan buruk untungku.
Tetapi pula, kalau kau hendak mendasarkan cinta itu pada dasar keikhlasan, pada keteguhan memegang janji, pada keteguhan memegang janji, pada memandang kebaikan hati dan bukan kebaikan rupa. Kalau engkau bukan mengharapkan kayaku, tetapi mengharapkan pengorbanan jiwaku untukmu, kalau engkau sudi kepadaku dan tidak merasa menyesal jika kelak bertemu dengan bahaya yang ngeri dan kecimus bibir; kalau semuanya itu tidak engkau pedulikan, Hayati, sebagai kukatakan dahulu, engkau akan beroleh seorang sahabat yang teguh setia.
Kalau semuanya  itu telah engkau ingat nbenar, dan engkau sudi berenag kedalam lautan cinta, ketahuilah bahwa saya beruntung berkenalan dengan engkau, dan moga-moga engkau pun beruntung berkenalan dengan saya.
Zainuddin




Sahabatku Hayati!
Sebagai kukatakan dahulu, lebih bebas saya menulis surat daripada berkata-kata dengan engkau. Saya lebih pandai meratap dalam surat, menyesal dalam surat, mengupat dalam surat. Karena bilamana saya bertemu dengan engkau, maka matamu yang sebagai Bintang Timur itu senantiasa menghilangkan susun kataku.
Sebelum bertemu, banyak yang teringat, setelah bertemu semuanya hilang, karena kegembiraan pertemuan itu telah menutupi akan segala ingatan.
Inilah suratku yang ketiga. Dan alangkah beruntungnya perasaan hatiku jika beroleh balasan, padahal sepucuk pun belum pernah engkau balas. Tahu saya apa jadi sebabnya. Bukan lantaran engkau tak dapat mengarang surat sebagai engkau katakan, tetapi hanyalah lantaran engkau masih merasa sebagaimana kebanyakan perasaan umum pada hari ini, bahwasanya berkirim-kiriman surat percintaaan itu adalah aib dan cela yang paling besar, cinta palsu dan bukan terbit dari hati yang mulia. Tapi, Hayati, perasaan saya lain dari itu. Yaitu kalau perasaan hati itu hanya disimpan-simpan saja, tidak diutarakan dengan kejujuran, itulah yang bernama cinta palsu, cinta yang tidak percaya kepada diri-sendiri.
Rasanya lebih aib dan lebih cela anak perempuan yang sengaja menekur-nekurkan kepalanya jika melihat seorang laki-laki, tetapi setelah selendangnya dibukanya, dia mengintip orang lalu lintas dari celah dinding. Dengan surat-surat kita belajar berbudi halus. Dalam susunan surat-surat dapat diketahui perkataan-perkataan yang pepat di luar, Pancung di dalam. Dengan surat-surat dapat diketahui dalam dangkalnya budi pekerti manusia.
Bacalah, dan bacalah suratku ketiga-tiganya. Adakah di sana terdapat saya berminyak air, mencoba menarik-narik hati? Bagi saya meskipun perjalanan cinta yang akan kita tempuh itu takkan hasil, surat itu sudah cukuplah untuk menguji budi saya.
Kirimlah surat kepadaku tanda jujurmu. Tanda benar-benar engkau hendak membela diriku. Kirimlah, dan janganlah engkau takut bahwa surat ini akan saya jadikan perkakas untuk membukakan rahasiamu jika ternyata engkau mungkiratau engkau sanggup mematuhi janji . Hayati! Lapangan ala mini amat luas dan Tuhan telah memberi kesanggupan mengembara di dalam lapangan yang luas itu. Maka jika kita beruntung, dan Allah memberi izin kita hidup sebagai suami dan istri, adalah surat-surat itu untuk mematrikan cinta kita, jadi pengobat batin didalam mendidik anak-anak. Tetapi kalau kiranya pertemuan nasib dan hidup kita tidak beroleh keizinanan Tuhan sejak dari azali-Nya, adalah surat-surat itu akan jadi peringatan dari dua orang bersahabat atau ketulusan mereka menghadapi cinta, tidak terlangkah kepada kejahatan dan tidak melanggar peri kesopanan.
Jangan engkau berwas-was kepadaku Hayati, mengirimkan suratmu. Surat-suratmu akan kusimpan baik-baik, akan kujadikan azimat tangkal penyakit, tangkal putus pengharapan. dan hilangkanlah sangka burukmu itu, takut suratmu jika kujadikan perkakas membusuk-busukkan namamu. Ah, mentang-mentang saya seorang anak terbuang, orang menumpang di negeri ini, tidaklah sampai serendah itu benar budiku.
Suratmu, Hayati; sekali lagi suratmu.
Zainuddin

9 komentar: