Sahabatku Hayati
Gemetar, Encik! Gemetar tanganku
ketika mula-mula menulis surat ini. Hatiku memaksaku, banyak yang terasa, tetapi setelah kucecahkan
penaku ke dawat, hilang akalku, tak tentu dari mana harus kumulai.
Sudah
hampir setahun saya tinggal di negeri tumpah darah nenek moyangku ini. Oh,
Hayati, saya telah dibuaikan oleh mimpi dahulunya, oleh kuatnya bekas dendang
dan nyanyian ayahku seketika saya masih dalam pangkuannya. Tanahmu yang indah,
bahkan tanahku juga, Minangkabau, senantiasa berdiri dalam semangatku. Sehingga
sejak saya tahu menyebut nama negeri Padang, tanah ini telah terbayang dalam
khayalku.
Angan-angan dan
khayal yang demikianlah yang menyampaikan langkahku kemari. Sebab di negeri
Mengkasar sendiri saya dipandang orang Padang, bukan orang asli Bugis atau
Mengkasar. Sebab itu disana saya rasa senantiasa dalam kesepian.
Sekarang saya
datang kemari, Hayati. Tak ubahnya dengan seorang musafir di tengah gurun yang
luas keputusan air ; tiap-tiap langkah dilangkahkannya tampak juga olehnya
danau yang luas di mukanya. Demi, setelah sampai kepada yang kelihatan itu,
danau itu pun hilanglah, berganti dengan pasir semata-mata, hening dan panas !
Hayati, berulang
saya menanggung perasaan begini, seorang pun tidak ada tempat saya mengadu.
Saya tidur di surau bersama-sama teman. Mereka ketawa, bersenda gurau, tetapi
bilamana kuhening kupikirkan, emas juga tidak juga dapat dicampurkan dengan
Loyang, sutra tersisih dari benang. Saya telah mengerti segera bahasa
Minangkabau meskipun dekat mereka saya seakan-akan tak paham. Dari isyarat dan
susun kata, dapat juga kuketahui, bahwa derajatku kurang adanya. Bakoku sendiri
tidak mengaku saya anak pisangnya, sebab rupanya ayahku tak mempunyai saudara
yang karib. Mereka bawa saya menumpang selama ini, karena dipertalikan bukan
oleh budi bahasa, tetapi oleh uang; sekali lagi Hayati, oleh uang!
Mengapa hal ini
saya adukan kepadamu Hayati?
Itu pun saya
sendiri tak tahu, cuma hati saya berkata, bahwa engkaulah tempat saya mengadu…
Hayati!
Terimalah pengaduaku ini, terimalah berita dan untung malangku ini.
Terimalah ini,
perkenankanlah seruan dari hati yang daif, hati seorang makhluk yang dari masa
dalam kandungan ibu telah ditunggu oleh rantai yang bertali-tali dari
kemalangan.
Ayahku telah
mati, dan ibuku demikian pula. Bakoku tak mengakui aku keluarganya. Di
Mengkasar hanya tinggal seorang ibu angkat. Dalam pergaulan, saya disisihkan
orang. Saya tak hendak membunuh diri, karena masih ada pergantungan iman dengan
yang Mahakuasa dan Gaib, bahwa dibalik kesukaran ada menunggu kemudahan. Di
dalam khayalku dan dalam kegelapgulitaan malam, tersimbahlah awan, cerahlah
langit dan kelihatanlah satu bintang, bintang dari penghidupan untuk
menunjukkan jalan. Bintang itu … ialah: kau sendiri, Hayati!
Bagimana maka
hati saya berkata begitu? Itupun saya tak tahu. Lantaran tak tahu sebabnya itu,
timbul kepercayaan kepada kuasa gaib yang lebih dari kuasa manusia, kusa gaib
itulah yang menitahkan …
Saya tahu juga
sedikit-dikit adat negerimu yang kokoh. Agaknya buruk saya berkirim surat ini
dalam pandangan umum. Menggaggu dirimu sendiri, tak akan menyentuh keesaran dan
sususnan rasam basi orang Minangkabau. Saya tahu dan insaf siapa semata-mata
mengadukan hal. Nyampangku mati, janganlah kumati dalam penyesalan. Dan saya
pun yakin, tangan yang begitu halus, mata yang penuh dengan kejujuran itu,
tidak akan sampai mengecewakan hati ynag telah penuh dengan kecewa sejak
sejengkal dari tanah. Terimalah saya menjadi sahabatmu yang baik, Hayati.
Supaya dapat saya mengadukan hal-halku, untuk mengurangi tanggungan hati. Sebab
memang sudah biasa kegembiraan dapat ditelan sendiri-sendiri dan kemalangan
menjadi kurang, bila dikatakan pada orang lain.
Sudikah engkau
jadi sahabatku Hayati? Saya akui saya orang aging melarat dan anak orang
terbuang yang datang dari negeri jauh, yatim dan piatu. Saya akui kerendahan
saya, itu agaknya yang akan menangguhkan hatimu bersahabat dengan daku. Tapi
Hayati, meskipun bagaimana, percayalah bahwa hatiku baik. Sukar engkau akan
bertemu dengan hati yang begini, yang bersih lantaran senantiasa dibasuh dengan
air kemalangan sejak lahirnyake dunia!
Zainuddin
Hayati!
Meskipun
mula-mula saya bertemu sesudah surat itu kukirim tanganku gemetar, maka
sambutanmu yang halus atas kecemasanku telah menghidupkan semangatku kembali.
Hayati sampai sekarang, dan agaknya lama sekali baru kejadian itu akan dapat
kulupakan. Karena menurut perasaan hatiku, adalah yang demikian pintu
keberuntungan yang pertama bagiku. sampai sekarang Hayati saya merasai dadaku
sendiri menjaga apakah hatiku masih tersimpan didalamnya, entah sudah terbang
ke langit biru agaknya, lantaran terlalu merasa beruntung.
Pada
perkataan-perkataan yang telah kau ucapkan, ternyata bahwa kasih sayangku, bahwa
cintaku telah kua terima. Bahwa pengharapanku yang telah putus, kau hubungkan
kembali. Tetapi Hayati, ada yang perlu kuterangkan padamu, supaya jangan engkau
menyesal kemudian. Orang sukai seorang pemuda, karena sesuatu yang
diharapkannya dari pemuda itu, misalnya dia cantik dan gagah. Aku sendiri,
sebagan yang kau lihat, begitulah kedaanku, rupaku yang jelek tak pantas
menjadi jodohmu, dan aku miskin. Misalnya Allah menyampaikan cita-cita hatiku,
dan engkau boleh menjadi suntingku, menjadi istri yang mengobat luka hatikuyang
telah berahun-tahun, agaknya akan malu engkau berjalan beersanding dengan daku,
karena amat buruk memperdekatkan loyang dengan mas, mempertalikan benang dengan
sutra. Bagiku, Hayati, engkau sangat cantik. Kecantikan itu kadang-kadang yang
menyebabkan daku putus asa, mengigat buruk diriku dan buruk untungku.
Tetapi pula,
kalau kau hendak mendasarkan cinta itu pada dasar keikhlasan, pada keteguhan
memegang janji, pada keteguhan memegang janji, pada memandang kebaikan hati dan
bukan kebaikan rupa. Kalau engkau bukan mengharapkan kayaku, tetapi
mengharapkan pengorbanan jiwaku untukmu, kalau engkau sudi kepadaku dan tidak
merasa menyesal jika kelak bertemu dengan bahaya yang ngeri dan kecimus bibir;
kalau semuanya itu tidak engkau pedulikan, Hayati, sebagai kukatakan dahulu,
engkau akan beroleh seorang sahabat yang teguh setia.
Kalau
semuanya itu telah engkau ingat nbenar,
dan engkau sudi berenag kedalam lautan cinta, ketahuilah bahwa saya beruntung
berkenalan dengan engkau, dan moga-moga engkau pun beruntung berkenalan dengan
saya.
Zainuddin
Sahabatku
Hayati!
Sebagai
kukatakan dahulu, lebih bebas saya menulis surat daripada berkata-kata dengan
engkau. Saya lebih pandai meratap dalam surat, menyesal dalam surat, mengupat
dalam surat. Karena bilamana saya bertemu dengan engkau, maka matamu yang
sebagai Bintang Timur itu senantiasa menghilangkan susun kataku.
Sebelum bertemu,
banyak yang teringat, setelah bertemu semuanya hilang, karena kegembiraan
pertemuan itu telah menutupi akan segala ingatan.
Inilah suratku
yang ketiga. Dan alangkah beruntungnya perasaan hatiku jika beroleh balasan,
padahal sepucuk pun belum pernah engkau balas. Tahu saya apa jadi sebabnya.
Bukan lantaran engkau tak dapat mengarang surat sebagai engkau katakan, tetapi
hanyalah lantaran engkau masih merasa sebagaimana kebanyakan perasaan umum pada
hari ini, bahwasanya berkirim-kiriman surat percintaaan itu adalah aib dan cela
yang paling besar, cinta palsu dan bukan terbit dari hati yang mulia. Tapi,
Hayati, perasaan saya lain dari itu. Yaitu kalau perasaan hati itu hanya
disimpan-simpan saja, tidak diutarakan dengan kejujuran, itulah yang bernama
cinta palsu, cinta yang tidak percaya kepada diri-sendiri.
Rasanya lebih
aib dan lebih cela anak perempuan yang sengaja menekur-nekurkan kepalanya jika
melihat seorang laki-laki, tetapi setelah selendangnya dibukanya, dia mengintip
orang lalu lintas dari celah dinding. Dengan surat-surat kita belajar berbudi
halus. Dalam susunan surat-surat dapat diketahui perkataan-perkataan yang pepat
di luar, Pancung di dalam. Dengan surat-surat dapat diketahui dalam dangkalnya
budi pekerti manusia.
Bacalah, dan
bacalah suratku ketiga-tiganya. Adakah di sana terdapat saya berminyak air,
mencoba menarik-narik hati? Bagi saya meskipun perjalanan cinta yang akan kita
tempuh itu takkan hasil, surat itu sudah cukuplah untuk menguji budi saya.
Kirimlah surat
kepadaku tanda jujurmu. Tanda benar-benar engkau hendak membela diriku. Kirimlah,
dan janganlah engkau takut bahwa surat ini akan saya jadikan perkakas untuk
membukakan rahasiamu jika ternyata engkau mungkiratau engkau sanggup mematuhi
janji . Hayati! Lapangan ala mini amat luas dan Tuhan telah memberi kesanggupan
mengembara di dalam lapangan yang luas itu. Maka jika kita beruntung, dan Allah
memberi izin kita hidup sebagai suami dan istri, adalah surat-surat itu untuk
mematrikan cinta kita, jadi pengobat batin didalam mendidik anak-anak. Tetapi
kalau kiranya pertemuan nasib dan hidup kita tidak beroleh keizinanan Tuhan
sejak dari azali-Nya, adalah surat-surat itu akan jadi peringatan dari dua
orang bersahabat atau ketulusan mereka menghadapi cinta, tidak terlangkah
kepada kejahatan dan tidak melanggar peri kesopanan.
Jangan engkau
berwas-was kepadaku Hayati, mengirimkan suratmu. Surat-suratmu akan kusimpan
baik-baik, akan kujadikan azimat tangkal penyakit, tangkal putus pengharapan.
dan hilangkanlah sangka burukmu itu, takut suratmu jika kujadikan perkakas
membusuk-busukkan namamu. Ah, mentang-mentang saya seorang anak terbuang, orang
menumpang di negeri ini, tidaklah sampai serendah itu benar budiku.
Suratmu, Hayati;
sekali lagi suratmu.
Zainuddin
terharu qw baca ini
BalasHapusBuya hamka memang sastrawan nan hebat
BalasHapusPengen nangis bacanya..
BalasHapusSNGGU indah sair ini
BalasHapussuka sekali aku dengan film ini
BalasHapussuka sekali aku dengan film ini
BalasHapusSurat yang indah
BalasHapusNyaris menitis air mata ini.. kala ku baca kata perkata surat ini..
BalasHapusNyahkece.blogspot.com
BalasHapusMasceybox.blogspot.com
Endongas.blogspot.com