Jumat, 18 Juli 2014

Kumpus dan kenangan_Ma


Ma

Ma ia mati Ma
Ma ia terkapar Ma
Tak bernyawa Ma
Ma ia tak bersalah
Ia hanya tertuduh Ma
Ma engkau pelipur lara
Tertunduk memangku aku melihat Ma
Ma hanya kejujuran yang tahu tentang kebisuan Ma
Ma kau tuli
Ma kau buta
Ma kau lumpuh
Ma kau lebur
Ma kini aku membayangmu
Terbaring dalam iring-iring ramai Ma

Seringai Mentari yang Tenggelam


Seringai Mentari yang Tenggelam
Kala itu aku telah mengatakan pada isyarat alam yang berpadu. Namun kau tak hiraukan keberadaanku bersama  alam itu. Aku menatapmu dengan sangat lembutnya dan pandanganku segera tergusar oleh adanya dirimu dengan bintang berhias. Kau menari bersama bintang dengan sangat anggunnya disaat manusia telah terlelap tidur hingga kau leluasa muncul dengan pesonamu pada bintang. Aku disini tertegun melihatmu dari bawah membayangkan diriku tertempel pada ragamu agar kau tahu luka yang kubawa . Namun bukankah itu mustahil bagiku tempatku dan tempatmu telah berbeda bagaimana aku bisa menjamahmu.Setiap hari aku menyusuri jalan berteman dengan angin membabi buta kehidupan dan kegelapan sebagai penyaksian. Bukannya aku tak ingin meronta sebab ini takdir yang telah tercipta. Hanya saja yang aku pertanyakan kenapa takdir memberiku rasa yang hangat namun sulit disentuh hingga samar dilihat.
Inilah pesona Desember yang selalu kusambut dengan sangat antusiasnya. Sebab ia selalu menghadirkan teman bagiku dimana air selalu menggguyur tubuhku hingga aku basah dan manusia bermain diatas ragaku. Walaupun aku tahu air tak dapat selalu hadir menyambangiku sebab semakin lama ia terkikis oleh mentari yang tak kunjung padam. Bukankah itu luka dan derita bagiku sebab setiap harinya aku hanya ditemani oleh lekatnya gelap yang ada. Sedangkan sang raja siang selalu bersenadung dengan yang lain memainkan melodinya hingga burung dan awan pun memberikan pujian-pujain manis pada dirinya. Disini siapa yang mengerti adanya sosok berteman sepi dan bermain dengan kelam. Mereka hanya tahu tentang indah yang tercipta tanpa tahu abdi dibelakangnya.
Hari ini aku sedikit acuh dengan kondisi yang biasanya kueluhkan. Aku menyandarkan diriku dibatu-batu yang sedang memanaskan dirinya. Disana aku terasa nyaman dengan angin yang menyeringai diatas. Akhir-akhir ini aku merasa sedikit berbeda aku tak pernah melihat mentari yang sering mengambil waktunya untuk menemui bintang dimalam hari. Aku berfikir sejenak apa yang sebenarnya terjadi.
“Huuuh,, kenapa aku harus peduli dengan mentari sedangkan ia saja tak pernah peduli dengan hidupku sama sekali”, aku menggumam pada diriku sendiri
Dan ketika aku menyusuri jalan aku mendengar banyak dari sekumpulan awan dan burung sedang membicarakan mentari yang kian hari kian hilang sinarnya. Hingga banyak orang yang merindukan sinar selama ini sebab banyak dari baju mereka yang mulai apek dan kucem karena tidak segera kering, tak hanya itu banyak petani juga yang merasakan kesusahan karena banyak tanamannya yang berada disawah mati karena tidak mendapatkan sinar dari mentari. Inilah yang akhirnya membuatku murka kepada mentari. Kenapa gundahnya harus membawa petaka bagi banyak orang. Bukankah seharusnya ia menyadari bahwasanya dirinya tercipta untuk memberikan kepuasan bagi manusia.
Pagi-pagi sekali aku segera bangun sebab inilah waktu yang tepat untuk berteriak pada mentari .
“Heh,, kau aku benci dirimu,, kau lemah, sebaiknya dirimu itu tak pantas berada diatas langit,, hanya begitu sajakah ketegaranmu selama ini.”, teriakku pada mentari
“Apa, maksudmu kau saja yang gila, kau tak pernah bukan merasakan cinta. Itu sebabnya kau tak pernah menderita sepertiku.”, jawab mentari
“Apa,, ulangi sekali lagi!!.” ucapku
“Kau tak pernah merasakan cinta itu sebabnya kau tak pernah menderita.” sahut mentari
“Apakah aku harus mengadu kepadamu kalau aku pernah merasakan cinta. Tak perlu bukan. Sudahlah jadilah yang seperti dulu. Kau dieluhkan banyak semua orang. Banyak orang kesusahan akibat sinarmu yang mulai redup.” ucapku menyaut perkataan mentari.
“Aku tak peduli,, sana pergi. Laksanakan tugasmu sendiri saja.” Ucap mentari
“Ok,, baik,, aku juga bisa sepertimu” ucapku geram.
Dengan amarah yang berkobar aku mencoba menyusuri jalan dan membiarkan tubuhku diambil sebagaian untuk ditanami sayur dan buah agar mereka dapat makan dengan puasnya. Namun hal itu rasanya sia-sia sebab tak ada sedikitpun tanaman yang dapat tumbuh subur jika tak ada sinar matahari. Satu persatu tiap korban berjatuhan akibat kurangnya asupan makanan yang ia peroleh. Tidak hanya itu beberapa dari mereka juga banyak yang mersakan gatal-gatal sebab sebagian dari mereka sudah mulai tidak mencuci bajunya lagi akibat tak ada sinar yang dapat mengeringkan baju.
Dari sini amarahku sudah tidak dapat terkendali sebab aku mulai bosan. Percuma saja aku berjuang setengah mati kalau pada akhirnya setiap harinya manusia harus terkapar mati. Bukankah sebaiknya aku meninggalkan semesta ini saja, sebab aku sudah tak tahan dengan derita mereka.
Hampir satu bulan penuh bumi terasa sangat luas dan hampa. Banyak dari peneliti fisika, kimia, dan biologi dikerahkan tapi tak sedikitpun membuahkan hasil. Tidak hanya itu pakar psikologi pun juga turut andil dalam meneliti peristiwa alam ini. Karena banyak orang mengira mungkin alam ini murka pada manusia karena moral manusia yang semakin buruk. Oleh karena itu pakar psikologi disini mencoba untuk mengamati gejala alam yang sebenarnya ingin disampaikan. Dan upaya tersebut sama sekali tidak membuahkan hasil. Semua orang telah menyerah dan pasrah bahwa sebentar lagi mereka akan mati. Dari sini banyak manusia yang mulai berbondong-bondong meningkatkan iman mereka kepada sang khalik sebab sebagian dari mereka takut masuk neraka.
Banyak dari sekumpulan awan dan burung mulai terngangah terhadap mentari. Kenapa mentari sudah acuh dan tak mau lagi peduli dengan kehidupan yang ada disekitarnya. Hingga pada akhirnya sekumpulan awan dan burung mempunyai ide untuk membuat kostum yang bentuknya sama persis dengan bintang. Awan dan burung menyerahkan kostum itu untuk diserahkan kepada manusia yang selama ini diakui piawai dalam membuat gaun yang mahal harganya. Setelah kostum itu jadi dan telah menyerupai bentuk bintang dimalam hari. Awan dan burung menyuruhku untuk memakai kostum itu berpura-pura menjadi seorang bintang. Aku tak habis pikir kenapa harus aku . Aku yang hanya seorang abu harus dijadikan peran sebagai bintang yang amat menawan. Namun aku tak bisa membantah permintaan awan dan burung yang selama ini sudah bersusah payah untuk berusaha membujuk mentari agar segera mau memunculkan sinarnya.
Setelah malam tiba aku segera mengahadapkan diriku kelangit dan sekumpulan awan serta burung pun membujuk mentari untuk menemui bintang yang telah menunggu sejak lama. Akhirnya cara itu pun berhasil dan mentari mau menemui bintang yang selama ini ia nantikan. Disanalah mentari mencurahkan semua perasaanya terhadap ku sebagai seorang bintang. Hingga pada ujung cerita mentari mengatakan rasa cintanya kepadaku. Disini aku mulai bingung dan tergoncang apa yang harus kukatakan pada mentari. Aku sadar aku mencintai mentari namun aku tak dapat selamanya menjadi perisai yang selalu lekang membohongi adanya diriku dibalilk bintang . Namun jika hal tersebut tak kulakukan pasti semua orang akan kecewa terhadapku sebab hanya akulah sekarang yang menjadi penolong bagi mereka. Dan perenungan tersebut akhirnya  memutuskanku untuk menerima cinta seorang mentari.
Sejak cinta itu mulai tumbuh diantara aku dan mentari. Banyak dari sekumpulan manusia sangat berbahagia sebab banyak dari mereka dapat hidup dengan melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasanya dengan menanami ladang mereka dengan sayur-sayuran dan buah-buahan karena adanya sinar mentari dan sebagaian ragaku untuk dijadikan pupuk. Disanalah banyak sorak bergemurai dan semua orang serta alam seraya memujiku . Namun hal itu lantas membuatku terfikir oleh adanya diriku yang berlindung dibalik bintang sebab aku tidak mungkin selamanya menjadi abu yang terasing di raganya. Kebohongan inilah yang sebenarnya aku takutkan jika suatu saat mentari mengetahuiku bahwa aku bukanlah bintang yang ia cari sebab jika hal ini terjadi maka mentari akan meredupkan sinarnya kembali untuk manusia dan lainnya.
Hingga beberapa tahun lamanya aku pun harus mengakhiri kebohonganku ini dengan kejujuran yang sebenarnya. Aku mengatakan pada mentari bahwasanya aku bukanlah seorang bintang yang selama ini ia puja dan ia cinta melainkan abu yang terceccer dibawah. Sikap inilah yang akhirnya membuat mentari membisu dan menenggelamkan sinarnya sebagai senja yang terluka.

sepenggal surat zainuddin (tenggelamnya kapal van der wijk)


Sahabatku Hayati
Gemetar, Encik! Gemetar tanganku ketika mula-mula menulis surat ini. Hatiku memaksaku,  banyak yang terasa, tetapi setelah kucecahkan penaku ke dawat, hilang akalku, tak tentu dari mana harus kumulai.
            Sudah hampir setahun saya tinggal di negeri tumpah darah nenek moyangku ini. Oh, Hayati, saya telah dibuaikan oleh mimpi dahulunya, oleh kuatnya bekas dendang dan nyanyian ayahku seketika saya masih dalam pangkuannya. Tanahmu yang indah, bahkan tanahku juga, Minangkabau, senantiasa berdiri dalam semangatku. Sehingga sejak saya tahu menyebut nama negeri Padang, tanah ini telah terbayang dalam khayalku.
Angan-angan dan khayal yang demikianlah yang menyampaikan langkahku kemari. Sebab di negeri Mengkasar sendiri saya dipandang orang Padang, bukan orang asli Bugis atau Mengkasar. Sebab itu disana saya rasa senantiasa dalam kesepian.
Sekarang saya datang kemari, Hayati. Tak ubahnya dengan seorang musafir di tengah gurun yang luas keputusan air ; tiap-tiap langkah dilangkahkannya tampak juga olehnya danau yang luas di mukanya. Demi, setelah sampai kepada yang kelihatan itu, danau itu pun hilanglah, berganti dengan pasir semata-mata, hening dan panas !
Hayati, berulang saya menanggung perasaan begini, seorang pun tidak ada tempat saya mengadu. Saya tidur di surau bersama-sama teman. Mereka ketawa, bersenda gurau, tetapi bilamana kuhening kupikirkan, emas juga tidak juga dapat dicampurkan dengan Loyang, sutra tersisih dari benang. Saya telah mengerti segera bahasa Minangkabau meskipun dekat mereka saya seakan-akan tak paham. Dari isyarat dan susun kata, dapat juga kuketahui, bahwa derajatku kurang adanya. Bakoku sendiri tidak mengaku saya anak pisangnya, sebab rupanya ayahku tak mempunyai saudara yang karib. Mereka bawa saya menumpang selama ini, karena dipertalikan bukan oleh budi bahasa, tetapi oleh uang; sekali lagi Hayati, oleh uang!
Mengapa hal ini saya adukan kepadamu Hayati?
Itu pun saya sendiri tak tahu, cuma hati saya berkata, bahwa engkaulah tempat saya mengadu…
Hayati! Terimalah pengaduaku ini, terimalah berita dan untung malangku ini.
Terimalah ini, perkenankanlah seruan dari hati yang daif, hati seorang makhluk yang dari masa dalam kandungan ibu telah ditunggu oleh rantai yang bertali-tali dari kemalangan.
Ayahku telah mati, dan ibuku demikian pula. Bakoku tak mengakui aku keluarganya. Di Mengkasar hanya tinggal seorang ibu angkat. Dalam pergaulan, saya disisihkan orang. Saya tak hendak membunuh diri, karena masih ada pergantungan iman dengan yang Mahakuasa dan Gaib, bahwa dibalik kesukaran ada menunggu kemudahan. Di dalam khayalku dan dalam kegelapgulitaan malam, tersimbahlah awan, cerahlah langit dan kelihatanlah satu bintang, bintang dari penghidupan untuk menunjukkan jalan. Bintang itu … ialah: kau sendiri, Hayati!
Bagimana maka hati saya berkata begitu? Itupun saya tak tahu. Lantaran tak tahu sebabnya itu, timbul kepercayaan kepada kuasa gaib yang lebih dari kuasa manusia, kusa gaib itulah yang menitahkan …
Saya tahu juga sedikit-dikit adat negerimu yang kokoh. Agaknya buruk saya berkirim surat ini dalam pandangan umum. Menggaggu dirimu sendiri, tak akan menyentuh keesaran dan sususnan rasam basi orang Minangkabau. Saya tahu dan insaf siapa semata-mata mengadukan hal. Nyampangku mati, janganlah kumati dalam penyesalan. Dan saya pun yakin, tangan yang begitu halus, mata yang penuh dengan kejujuran itu, tidak akan sampai mengecewakan hati ynag telah penuh dengan kecewa sejak sejengkal dari tanah. Terimalah saya menjadi sahabatmu yang baik, Hayati. Supaya dapat saya mengadukan hal-halku, untuk mengurangi tanggungan hati. Sebab memang sudah biasa kegembiraan dapat ditelan sendiri-sendiri dan kemalangan menjadi kurang, bila dikatakan pada orang lain.
Sudikah engkau jadi sahabatku Hayati? Saya akui saya orang aging melarat dan anak orang terbuang yang datang dari negeri jauh, yatim dan piatu. Saya akui kerendahan saya, itu agaknya yang akan menangguhkan hatimu bersahabat dengan daku. Tapi Hayati, meskipun bagaimana, percayalah bahwa hatiku baik. Sukar engkau akan bertemu dengan hati yang begini, yang bersih lantaran senantiasa dibasuh dengan air kemalangan sejak lahirnyake dunia!
Zainuddin


Hayati!
Meskipun mula-mula saya bertemu sesudah surat itu kukirim tanganku gemetar, maka sambutanmu yang halus atas kecemasanku telah menghidupkan semangatku kembali. Hayati sampai sekarang, dan agaknya lama sekali baru kejadian itu akan dapat kulupakan. Karena menurut perasaan hatiku, adalah yang demikian pintu keberuntungan yang pertama bagiku. sampai sekarang Hayati saya merasai dadaku sendiri menjaga apakah hatiku masih tersimpan didalamnya, entah sudah terbang ke langit biru agaknya, lantaran terlalu merasa beruntung.
Pada perkataan-perkataan yang telah kau ucapkan, ternyata bahwa kasih sayangku, bahwa cintaku telah kua terima. Bahwa pengharapanku yang telah putus, kau hubungkan kembali. Tetapi Hayati, ada yang perlu kuterangkan padamu, supaya jangan engkau menyesal kemudian. Orang sukai seorang pemuda, karena sesuatu yang diharapkannya dari pemuda itu, misalnya dia cantik dan gagah. Aku sendiri, sebagan yang kau lihat, begitulah kedaanku, rupaku yang jelek tak pantas menjadi jodohmu, dan aku miskin. Misalnya Allah menyampaikan cita-cita hatiku, dan engkau boleh menjadi suntingku, menjadi istri yang mengobat luka hatikuyang telah berahun-tahun, agaknya akan malu engkau berjalan beersanding dengan daku, karena amat buruk memperdekatkan loyang dengan mas, mempertalikan benang dengan sutra. Bagiku, Hayati, engkau sangat cantik. Kecantikan itu kadang-kadang yang menyebabkan daku putus asa, mengigat buruk diriku dan buruk untungku.
Tetapi pula, kalau kau hendak mendasarkan cinta itu pada dasar keikhlasan, pada keteguhan memegang janji, pada keteguhan memegang janji, pada memandang kebaikan hati dan bukan kebaikan rupa. Kalau engkau bukan mengharapkan kayaku, tetapi mengharapkan pengorbanan jiwaku untukmu, kalau engkau sudi kepadaku dan tidak merasa menyesal jika kelak bertemu dengan bahaya yang ngeri dan kecimus bibir; kalau semuanya itu tidak engkau pedulikan, Hayati, sebagai kukatakan dahulu, engkau akan beroleh seorang sahabat yang teguh setia.
Kalau semuanya  itu telah engkau ingat nbenar, dan engkau sudi berenag kedalam lautan cinta, ketahuilah bahwa saya beruntung berkenalan dengan engkau, dan moga-moga engkau pun beruntung berkenalan dengan saya.
Zainuddin




Sahabatku Hayati!
Sebagai kukatakan dahulu, lebih bebas saya menulis surat daripada berkata-kata dengan engkau. Saya lebih pandai meratap dalam surat, menyesal dalam surat, mengupat dalam surat. Karena bilamana saya bertemu dengan engkau, maka matamu yang sebagai Bintang Timur itu senantiasa menghilangkan susun kataku.
Sebelum bertemu, banyak yang teringat, setelah bertemu semuanya hilang, karena kegembiraan pertemuan itu telah menutupi akan segala ingatan.
Inilah suratku yang ketiga. Dan alangkah beruntungnya perasaan hatiku jika beroleh balasan, padahal sepucuk pun belum pernah engkau balas. Tahu saya apa jadi sebabnya. Bukan lantaran engkau tak dapat mengarang surat sebagai engkau katakan, tetapi hanyalah lantaran engkau masih merasa sebagaimana kebanyakan perasaan umum pada hari ini, bahwasanya berkirim-kiriman surat percintaaan itu adalah aib dan cela yang paling besar, cinta palsu dan bukan terbit dari hati yang mulia. Tapi, Hayati, perasaan saya lain dari itu. Yaitu kalau perasaan hati itu hanya disimpan-simpan saja, tidak diutarakan dengan kejujuran, itulah yang bernama cinta palsu, cinta yang tidak percaya kepada diri-sendiri.
Rasanya lebih aib dan lebih cela anak perempuan yang sengaja menekur-nekurkan kepalanya jika melihat seorang laki-laki, tetapi setelah selendangnya dibukanya, dia mengintip orang lalu lintas dari celah dinding. Dengan surat-surat kita belajar berbudi halus. Dalam susunan surat-surat dapat diketahui perkataan-perkataan yang pepat di luar, Pancung di dalam. Dengan surat-surat dapat diketahui dalam dangkalnya budi pekerti manusia.
Bacalah, dan bacalah suratku ketiga-tiganya. Adakah di sana terdapat saya berminyak air, mencoba menarik-narik hati? Bagi saya meskipun perjalanan cinta yang akan kita tempuh itu takkan hasil, surat itu sudah cukuplah untuk menguji budi saya.
Kirimlah surat kepadaku tanda jujurmu. Tanda benar-benar engkau hendak membela diriku. Kirimlah, dan janganlah engkau takut bahwa surat ini akan saya jadikan perkakas untuk membukakan rahasiamu jika ternyata engkau mungkiratau engkau sanggup mematuhi janji . Hayati! Lapangan ala mini amat luas dan Tuhan telah memberi kesanggupan mengembara di dalam lapangan yang luas itu. Maka jika kita beruntung, dan Allah memberi izin kita hidup sebagai suami dan istri, adalah surat-surat itu untuk mematrikan cinta kita, jadi pengobat batin didalam mendidik anak-anak. Tetapi kalau kiranya pertemuan nasib dan hidup kita tidak beroleh keizinanan Tuhan sejak dari azali-Nya, adalah surat-surat itu akan jadi peringatan dari dua orang bersahabat atau ketulusan mereka menghadapi cinta, tidak terlangkah kepada kejahatan dan tidak melanggar peri kesopanan.
Jangan engkau berwas-was kepadaku Hayati, mengirimkan suratmu. Surat-suratmu akan kusimpan baik-baik, akan kujadikan azimat tangkal penyakit, tangkal putus pengharapan. dan hilangkanlah sangka burukmu itu, takut suratmu jika kujadikan perkakas membusuk-busukkan namamu. Ah, mentang-mentang saya seorang anak terbuang, orang menumpang di negeri ini, tidaklah sampai serendah itu benar budiku.
Suratmu, Hayati; sekali lagi suratmu.
Zainuddin