Kugambar Dian dalam Senja
Sudah
dari dulu aku mencintaimu. Sampai detik ini pun aku masih teringat tentang mata
yang kupandang di taman . Ingin rasanya aku berucap padamu tentang rasa cintaku
ini saat kau dan aku saling beradu pandang menatap senja.
Bila
waktuku sendiri kusempatkan menatapmu melalui gambaran senja sore hari.
Kuhabiskan lelahku berbaring diatas ilalang yang melintang.
Dian,,
kini aku tak pernah tahu tentang aromamu yang dulu selalu mengharum. Belum
sempat pula aku menunjukkan dawai tentang syair lagu yang ingin ku bagi
denganmu. Hanya untuk menghilangkan masam yang membuatmu menangis.
Dian
diujung pulau Sumatera yang kau diami kini kutitipkan sinar kuning memerah pada diri senja. Berharap kau mengingatku
sebagai air penghilang masam yang sering membuatmu lara.
Dua
bulan yang lalu telah kutitipkan cincin dengan senja sebagai penghiasnya pada
Samir. Kau pasti bahagia melihatnya. Senja yang setiap hari kita pandang berdua
sekarang dapat kau temui dalam cincin yang kubuat untukmu. Berharap engkau
menerima pinanganku sebagai sepasang merpati sore hari. Berhari-hari kutunggu
surat dan kabarmu mengenai pinanganku yang kuucap lewat Samir. Tapi tak ada
satupun surat yang kudapati darimu begitu juga Samir.
Hingga
pada akhirnya kuputuskan untuk pergi ke Sumatera menemuimu walaupun aku sama
sekali tak pernah mengetahui Sumatera. Perjalananku menuju Sumatera tak semudah
yang kukira. Aku dihadang beberapa orang yang tak kukenal ia membawa semua uang
yang telah lama kutabung berbulan-bulan untuk menemuimu di Sumatera. Setengah
perjalananku ke Sumatera harus terhenti.
Saat
ku bermenung di stasiun dengan tidak sengaja seorang pemuda mendekatiku dan
memegang bahuku seakan ia mengerti lara yang kudapati sekarang.
“
Apa yang sedang bung pikirkan? berbahaya bung termenung disini”
“Tidak
ada bung. Hanya saja aku baru ditodong oleh beberapa orang yang tak ku kenal.
Ia membawa tas dan semua uang yang kubawa padahal uang itu hendak ku jadikan
bekal untuk melanjutkan perjalananku ke Sumatera”
“Hendak
apa bung pergi ke Sumatera?”
“Ingin
kutemui Dian wanita yang selalu tergambar sore hari tepat dipikirku”
“Jika
bung berniat untuk melanjutkan perjalanan ke Sumatera. Ikutlah denganku aku
hanya seorang buruh panggul di pasar. Memang tak seberapa upah yang bung dapati
namun setidaknya bung dapat menabung sedikit uang tersebut untuk bung tabung
melanjutkan perjalanan ke Sumatera”
“Terima
kasih bung. saya tidak pernah mempersoalkan mengenai buruh panggul bung. Saya
sangat berterima kasih dengan bung telah memberikan saya pekerjaan setidaknya
saya dapat melanjutkan perjalanan saya ke Sumatera”
Hampir
enam bulan kuhabiskan sisa waktuku untuk mengumpulkan uang guna kutabung untuk
menemuimu Dian. Setelah kurasa cukup pundi-pundi yang kukumpulkan untuk dapat
melanjutkan perjalanan ke Sumatera. Ku naiki kereta yang menuju ke Sumatera.
Tepatnya sore hari kupandangi sepanjang jalan dalam kaca kereta. Disana kutemui
kau dalam senja yang terpapar kuning kemerahan membuatku sama sekali tak jenuh
justru membuat hening dipikirku.
“Memang benar Dian apa yang diucap pujangga bahwa
cinta adalah penyakit, penyakit tetapi nikmat; nikmat tetapi penyakit. Orang
ditimpanya orang itu hendak sembuh darinya”
Hampir empat jam lamanya kulalui kota-kota yang
syahdu dengan perias senja diatasnya. Kini malam telah datang menghapuskan
senja diatas sana. Dan aku telah sampai di Pulau Sumatera.Kubaringkan tubuhku
distasiun pemberhentian menanti pagi datang dan kan kutemui kau dengan hingar
bingar bau wangimu.
Pagi telah
dijelang. Kulanjutkan jejakku untuk menemuimu. Kubuka secarik kertas yang dulu
pernah kuminta pada Samir mengenai alamat tempat mu bersinggah di pulau
Sumatera.
“ Jl. Ujung
Pandang no 23 Sumatera Barat” kulihat
Kubertanya
pada beberapa orang mengenai dirimu disepanjang jalan. Dan beberapa dari mereka
mengarahkanku pada satu sudut jalan tepat mengarah pada jalan yang hendak
kutuju. Hingga akhirnya kutemukan kau dalam persinggahan yang cukup megah
rupanya. Keketuk pintu yang cukup lebar berharap kau yang membukakan pintu itu untukku.Ternyata
benar Dian yang membukakan pintu untukku adalah kau. Kau masih sama seperti
yang kulihat dahulu seperti senja kemerahan sore hari.
“Dian berhari-hari aku mencarimu. Apakah Samir
telah menyampaikan pesanku untukmu bahwa aku ingin meminangmu”
“Memang benar
setahun yang lalu Samir memberikanku cincin berhiaskan cahaya senja
ditengahnya. Ia mengatakan hal serupa seperti yang kau katakan padaku. Betapa
tidak pedih hatiku kau ingin meminangku setelah sebulan lamanya aku dipinang
oleh Arif seorang saudagar dari Minang. Bukan karena apa aku menerima pinangan
Arif melainkan aku takut menunggumu jikalau sebenarnya kau tak ada rasa cinta
untukku. Sudah lama pula Arif rupanya menyukaiku. Ia juga pemuda yang baik
hatinya. Tak pernah sedikitpun ia membuat sakit hatiku. Maafkanlah aku bukan
maksud aku menyakitimu”
“Dian kini kau
hanya bisa kulihat dalam gambaran senja tanpa bisa aku menjamahmu. Apalagi
merayumu sore hari berikutnya. Kau telah jadi milik pemuda yang lain. Kini
arahku tak tentu bila senja yang kugambarkan adalah dirimu sudah bukan milikku
lagi”
“Dusta
rasanya bila aku tak pernah memikirkanmu. Setiap sore selalu kuingat kau dalam
senja ketika laraku kau bias dengan suka. Namun apalah dayaku ketika Ia mendatangiku
dan menyampaikan maksud baiknya untuk meminangku. Sedang kau yang selalu
kutunggu tak hendak menyampaikan maksud cintamu padaku”
“Tak
perlu kau tangisi Dian. Akulah penyebab laramu yang membuat menunggumu selama
ini. Biarkanlah kuabadikan kau dalam gambaran senja walau tak dapat kau kujamah
setidaknya kau dapat kusapa sore hari walau sudah bukan hakku lagi tuk merayu”
Inilah
akhirnya Dian. Semua senja yang menghadapku sore hari sebelumnya bak telah
dirampas malam yang ditabur bintang membentuk rasinya masing-masing ditemani
permata bulan yang membesar. Sore seakan dipandang sederhana dengan satu senja
yang memerah keemasan. Membuatku bisu diseberang jalan menatapmu sore hari.
Dian
yang kugambar sore lalu.