Rabu, 19 November 2014

kumpus dan kenangan "Di"


Di
Di,, kupandangi kau lebih tajam
Lebih tajam Di, sangat-sangat tajam, bahkan hanya dirimu yang kupandang paling tajam
Di awalnya aku hanya menggambar kepalamu, dan mengarsir rambutmu
Namun Di
Setidaknya kau harus tahu sekarang bahwa aku menjadi seorang pecandu
Yang seakan ketagihan memandang dan menggambarmu setiap hari Di
Di kini mulai kulanjutkan menggambarmu lagi
Membentuk telingamu, memnbentuk alismu, membentuk matamu, membentuk hidungmu, dan membentuk bibirmu
Di kini aku telah usai menggambarmu
Aku bahagia sekarang Di
Bisa memandangmu setiap hari
Menyapamu bahkan merabamu
Di tapi aku mulai risau ketika kulihat matamu berlinang air mata
Apa kau menangis Di
Apa kau tak suka kulukis dikanvas
Di, setiap hari kuusap pipimu yang basah oleh air mata
Tapi kau tak pernah usai menangis
Di, aku tak bisa membuang pandanganku
Di, aku juga tak sanggup membakar pandanganku
Di, tenanglah aku tak akan mengganggumu
Aku tak akan mengusikmu
Tenanglah Di,
Aku hanya ingin memandangmu
Sebagai seorang yang kucinta walau tanpa sosok yang nyata
Surabaya, 28 Oktober 2014

kumpus dan kenangan "Di"


Di
Di,, kupandangi kau lebih tajam
Lebih tajam Di, sangat-sangat tajam, bahkan hanya dirimu yang kupandang paling tajam
Di awalnya aku hanya menggambar kepalamu, dan mengarsir rambutmu
Namun Di
Setidaknya kau harus tahu sekarang bahwa aku menjadi seorang pecandu
Yang seakan ketagihan memandang dan menggambarmu setiap hari Di
Di kini mulai kulanjutkan menggambarmu lagi
Membentuk telingamu, memnbentuk alismu, membentuk matamu, membentuk hidungmu, dan membentuk bibirmu
Di kini aku telah usai menggambarmu
Aku bahagia sekarang Di
Bisa memandangmu setiap hari
Menyapamu bahkan merabamu
Di tapi aku mulai risau ketika kulihat matamu berlinang air mata
Apa kau menangis Di
Apa kau tak suka kulukis dikanvas
Di, setiap hari kuusap pipimu yang basah oleh air mata
Tapi kau tak pernah usai menangis
Di, aku tak bisa membuang pandanganku
Di, aku juga tak sanggup membakar pandanganku
Di, tenanglah aku tak akan mengganggumu
Aku tak akan mengusikmu
Tenanglah Di,
Aku hanya ingin memandangmu
Sebagai seorang yang kucinta walau tanpa sosok yang nyata
Surabaya, 28 Oktober 2014

Jumat, 14 November 2014


Tak Lagi tentang Senja
Tak mau lagi menjadi obsesi Senja
Mengigiringi sajak pertemuan melalui senja
Orang terlampau gila menuai perhara apapun menulis tentang senja
Dan keberuntungan memang benar milik Alina
Dia telah menggenggam Senja yang diberikan Seno untuknya
Sedang yang lain adalah sisa-sisa dari Senja Alina
Dan kini tinggal solitude bagi penikmat Senja
Aku tak lagi menunjuk Senja sebagai pemanis sore
Melainkan kiasan pelengkap rima yang ompong
Yang ada tinggallah Di
Tinta pena seorang diri

Senin, 15 September 2014


Kugambar Dian dalam Senja
Sudah dari dulu aku mencintaimu. Sampai detik ini pun aku masih teringat tentang mata yang kupandang di taman . Ingin rasanya aku berucap padamu tentang rasa cintaku ini saat kau dan aku saling beradu pandang menatap senja.
Bila waktuku sendiri kusempatkan menatapmu melalui gambaran senja sore hari. Kuhabiskan lelahku berbaring diatas ilalang yang melintang.
Dian,, kini aku tak pernah tahu tentang aromamu yang dulu selalu mengharum. Belum sempat pula aku menunjukkan dawai tentang syair lagu yang ingin ku bagi denganmu. Hanya untuk menghilangkan masam yang membuatmu menangis.
Dian diujung pulau Sumatera yang kau diami kini kutitipkan sinar kuning memerah  pada diri senja. Berharap kau mengingatku sebagai air penghilang masam yang sering membuatmu lara.
Dua bulan yang lalu telah kutitipkan cincin dengan senja sebagai penghiasnya pada Samir. Kau pasti bahagia melihatnya. Senja yang setiap hari kita pandang berdua sekarang dapat kau temui dalam cincin yang kubuat untukmu. Berharap engkau menerima pinanganku sebagai sepasang merpati sore hari. Berhari-hari kutunggu surat dan kabarmu mengenai pinanganku yang kuucap lewat Samir. Tapi tak ada satupun surat yang kudapati darimu begitu juga Samir.
Hingga pada akhirnya kuputuskan untuk pergi ke Sumatera menemuimu walaupun aku sama sekali tak pernah mengetahui Sumatera. Perjalananku menuju Sumatera tak semudah yang kukira. Aku dihadang beberapa orang yang tak kukenal ia membawa semua uang yang telah lama kutabung berbulan-bulan untuk menemuimu di Sumatera. Setengah perjalananku ke Sumatera harus terhenti.
Saat ku bermenung di stasiun dengan tidak sengaja seorang pemuda mendekatiku dan memegang bahuku seakan ia mengerti lara yang kudapati sekarang.
“ Apa yang sedang bung pikirkan? berbahaya bung termenung disini”
“Tidak ada bung. Hanya saja aku baru ditodong oleh beberapa orang yang tak ku kenal. Ia membawa tas dan semua uang yang kubawa padahal uang itu hendak ku jadikan bekal untuk melanjutkan perjalananku ke Sumatera”
“Hendak apa bung pergi ke Sumatera?”
“Ingin kutemui Dian wanita yang selalu tergambar sore hari tepat dipikirku”
“Jika bung berniat untuk melanjutkan perjalanan ke Sumatera. Ikutlah denganku aku hanya seorang buruh panggul di pasar. Memang tak seberapa upah yang bung dapati namun setidaknya bung dapat menabung sedikit uang tersebut untuk bung tabung melanjutkan perjalanan ke Sumatera”
“Terima kasih bung. saya tidak pernah mempersoalkan mengenai buruh panggul bung. Saya sangat berterima kasih dengan bung telah memberikan saya pekerjaan setidaknya saya dapat melanjutkan perjalanan saya ke Sumatera”
Hampir enam bulan kuhabiskan sisa waktuku untuk mengumpulkan uang guna kutabung untuk menemuimu Dian. Setelah kurasa cukup pundi-pundi yang kukumpulkan untuk dapat melanjutkan perjalanan ke Sumatera. Ku naiki kereta yang menuju ke Sumatera. Tepatnya sore hari kupandangi sepanjang jalan dalam kaca kereta. Disana kutemui kau dalam senja yang terpapar kuning kemerahan membuatku sama sekali tak jenuh justru membuat hening dipikirku.
“Memang benar Dian apa yang diucap pujangga bahwa cinta adalah penyakit, penyakit tetapi nikmat; nikmat tetapi penyakit. Orang ditimpanya orang itu hendak sembuh darinya”

Hampir  empat jam lamanya kulalui kota-kota yang syahdu dengan perias senja diatasnya. Kini malam telah datang menghapuskan senja diatas sana. Dan aku telah sampai di Pulau Sumatera.Kubaringkan tubuhku distasiun pemberhentian menanti pagi datang dan kan kutemui kau dengan hingar bingar bau wangimu.

Pagi telah dijelang. Kulanjutkan jejakku untuk menemuimu. Kubuka secarik kertas yang dulu pernah kuminta pada Samir mengenai alamat tempat mu bersinggah di pulau Sumatera.
“ Jl. Ujung Pandang no 23 Sumatera Barat” kulihat
Kubertanya pada beberapa orang mengenai dirimu disepanjang jalan. Dan beberapa dari mereka mengarahkanku pada satu sudut jalan tepat mengarah pada jalan yang hendak kutuju. Hingga akhirnya kutemukan kau dalam persinggahan yang cukup megah rupanya. Keketuk pintu yang cukup lebar berharap kau yang membukakan pintu itu untukku.Ternyata benar Dian yang membukakan pintu untukku adalah kau. Kau masih sama seperti yang kulihat dahulu seperti senja kemerahan sore hari.
“Dian  berhari-hari aku mencarimu. Apakah Samir telah menyampaikan pesanku untukmu bahwa aku ingin meminangmu”

“Memang benar setahun yang lalu Samir memberikanku cincin berhiaskan cahaya senja ditengahnya. Ia mengatakan hal serupa seperti yang kau katakan padaku. Betapa tidak pedih hatiku kau ingin meminangku setelah sebulan lamanya aku dipinang oleh Arif seorang saudagar dari Minang. Bukan karena apa aku menerima pinangan Arif melainkan aku takut menunggumu jikalau sebenarnya kau tak ada rasa cinta untukku. Sudah lama pula Arif rupanya menyukaiku. Ia juga pemuda yang baik hatinya. Tak pernah sedikitpun ia membuat sakit hatiku. Maafkanlah aku bukan maksud aku menyakitimu”

“Dian kini kau hanya bisa kulihat dalam gambaran senja tanpa bisa aku menjamahmu. Apalagi merayumu sore hari berikutnya. Kau telah jadi milik pemuda yang lain. Kini arahku tak tentu bila senja yang kugambarkan adalah dirimu sudah bukan milikku lagi”

“Dusta rasanya bila aku tak pernah memikirkanmu. Setiap sore selalu kuingat kau dalam senja ketika laraku kau bias dengan suka. Namun apalah dayaku ketika Ia mendatangiku dan menyampaikan maksud baiknya untuk meminangku. Sedang kau yang selalu kutunggu tak hendak menyampaikan maksud cintamu padaku”
“Tak perlu kau tangisi Dian. Akulah penyebab laramu yang membuat menunggumu selama ini. Biarkanlah kuabadikan kau dalam gambaran senja walau tak dapat kau kujamah setidaknya kau dapat kusapa sore hari walau sudah bukan hakku lagi tuk merayu”
Inilah akhirnya Dian. Semua senja yang menghadapku sore hari sebelumnya bak telah dirampas malam yang ditabur bintang membentuk rasinya masing-masing ditemani permata bulan yang membesar. Sore seakan dipandang sederhana dengan satu senja yang memerah keemasan. Membuatku bisu diseberang jalan menatapmu sore hari.
Dian yang kugambar sore lalu.

Kumpus dan kenangan_Di Tampar Malam


Ditampar Malam
Lantaran biduk mengganggu tiap tidurku
Lalu beberapa orang menyeretku pergi
Sedang napasku masih tersengal
Dan mataku sembap
Saat itulah aku mulai pergi
Dimana tak ada seorang pun mengganggu
Aku berkaca pada air yang kugoncang
Dan aku samar,  semakin parah laraku
Aku yang seakan hilang pikir
Ditimpa ruang tak berjendela
Bukan kepalang susahnya kuhirup udara
Dan kutenggelamkan gelapku sendiri
Hingga akhirnya mataku terpejam lewat skenario mimpimu